Perkembangan Budaya pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin
*
Karya sastra Indonesia tahun 1950-an mengusung tema-tema kegentiran yang terjadi pada zaman revolusi
dan perang kemerdekaan. Sastrawan-sastrawan pada era 50-an sebagai berikut.
a. Pramoedya Ananta Toer karyanya Keluarga Gerilja (Pembangunan,1950), Perburuan (Balai
Rakjat,1950) dan Dia Jang Menjerah (Balai Pustaka,1950)
b. Mochtar Lubis Karyanya Tak Ada Esok (Gapura,1950) dan Djalan Tak Ada Ujung (Balai
Pustaka,1952)
c. Abdoel Mulis karyanya Salah Asuhan dan Surapati (Balai Pustaka,1950)
Pada tahun 1950-an sastrawan Indonesia Leluasa memanfaatkan kemerdekaan kreativitasnya untuk mengangkat berbagai masalah yang menimpa bangsanya. Para Sastrawan menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat kebangsaan melalui karya-karya yang mereka hasilkan. Pada periode ini karya sastra telah menjalankan fungsinya sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan..
Perkembangan budaya pada masa Demokrasi Liberal masih tetap fokus pada penyempurnaan bahasa Indonesia. Pada tanggal 19 Juli 1956 pemerintah membentuk Panitia Pembahasan Ejaan Bahasa Indonesia.Panitia tersebut mula-mula di pimpin oleh Prof. Dr.Prijono,selanjutnya oleh E. Katoppo. Panitia pembahasan tersebut menghasilkan konsep pembaruan.Selanjutnya pada tanggal 4-7 desembe 1959 di Jakarta diadakan sidang bersama antara Panitia Pelaksana Kerja sama Bahasa Melayu dan Indonesia.
Kondisi kesastraan yang semarak menjadi berubah ketika memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno mulai membatasi kebebasan berkreasi dalam bidang budaya. Kebijakan tersebut ditetapkan atas program upaya pencarian jati diri bangsa.
Pada masa Demokrasi Terpimpin organisasi kesenian terikat oleh pihak-pihak politik salah satunya adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra dengan tegas menyatakan diri sebagai organisasi pendukung PKI.Menanggapi kondisi budaya Indonesia yang semakin condong ke arah komunisme, tiga belas seniman antara lain H.B Jassin, Wiratmo Sukito dan Trisno Sumardjo mengumumkan pembentukan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Dalam manifesto dinyatakan "Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan mempertahankan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Referensi : Buku IPS Kelas 9 Terbitan Intan Pariwara
Karya sastra Indonesia tahun 1950-an mengusung tema-tema kegentiran yang terjadi pada zaman revolusi
dan perang kemerdekaan. Sastrawan-sastrawan pada era 50-an sebagai berikut.
a. Pramoedya Ananta Toer karyanya Keluarga Gerilja (Pembangunan,1950), Perburuan (Balai
Rakjat,1950) dan Dia Jang Menjerah (Balai Pustaka,1950)
b. Mochtar Lubis Karyanya Tak Ada Esok (Gapura,1950) dan Djalan Tak Ada Ujung (Balai
Pustaka,1952)
c. Abdoel Mulis karyanya Salah Asuhan dan Surapati (Balai Pustaka,1950)
Pada tahun 1950-an sastrawan Indonesia Leluasa memanfaatkan kemerdekaan kreativitasnya untuk mengangkat berbagai masalah yang menimpa bangsanya. Para Sastrawan menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat kebangsaan melalui karya-karya yang mereka hasilkan. Pada periode ini karya sastra telah menjalankan fungsinya sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan..
Perkembangan budaya pada masa Demokrasi Liberal masih tetap fokus pada penyempurnaan bahasa Indonesia. Pada tanggal 19 Juli 1956 pemerintah membentuk Panitia Pembahasan Ejaan Bahasa Indonesia.Panitia tersebut mula-mula di pimpin oleh Prof. Dr.Prijono,selanjutnya oleh E. Katoppo. Panitia pembahasan tersebut menghasilkan konsep pembaruan.Selanjutnya pada tanggal 4-7 desembe 1959 di Jakarta diadakan sidang bersama antara Panitia Pelaksana Kerja sama Bahasa Melayu dan Indonesia.
Kondisi kesastraan yang semarak menjadi berubah ketika memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno mulai membatasi kebebasan berkreasi dalam bidang budaya. Kebijakan tersebut ditetapkan atas program upaya pencarian jati diri bangsa.
Pada masa Demokrasi Terpimpin organisasi kesenian terikat oleh pihak-pihak politik salah satunya adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra dengan tegas menyatakan diri sebagai organisasi pendukung PKI.Menanggapi kondisi budaya Indonesia yang semakin condong ke arah komunisme, tiga belas seniman antara lain H.B Jassin, Wiratmo Sukito dan Trisno Sumardjo mengumumkan pembentukan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Dalam manifesto dinyatakan "Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan mempertahankan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Referensi : Buku IPS Kelas 9 Terbitan Intan Pariwara
Comments
Post a Comment